demon search engine

Loading

Selasa, 09 Juni 2009

Lelaki Paruh Baya dan Tempayan Retak

Alkisah sebuah desa, hidup seorang laki-laki paruh baya yang sehari-harinya bekerja di ladang dan beternak domba. Ia tinggal sebatang kara di sebuah gubuk yang terletak di pinggir jalan ujung desa. Ia sudah hidup sendirian selama beberapa tahun belakangan karena istrinya telah meninggal.

Diceritakan desa dimana ia tinggal merupakan desa yang sering kali dilanda oleh kemarau panjang sehingga cukup sulit untuk mendapatkan air. Apabila kemarau datang, maka satu-satunya sumber air yang bisa didapat oleh masyarakat desa hanyalah dari mata air di kaki gunung yang letaknya ada di utara desa dan jaraknya cukup jauh. Dan sekarang adalah kemarau.

Seperti masyarakat desa lainnya, setiap hari lelaki ini harus pergi ke mata air untuk mengambil air guna kebutuhan sehari-hari, baik itu untuk kebutuhan diri sendiri maupun untuk kebutuhan ladang dan ternak. Setiap pagi lelaki paruh baya ini berangkat menyusuri jalan desa dengan berbekalkan tongkat dan dua tempayan untuk menampung air yang nanti dibawanya dari mata air. Ia menggunakan tongkat untuk memanggul air dalam tempayan yang diikatkan dimasing-masing sisi ujung tongkat.

Dua tempayan dan tongkatnya sudah terlihat tua dan lusuh karena sudah sangat lama tidak diganti dengan yang baru, bahkan salah satu dari tempayannya sudah retak. Tempayan yang retak itu memang sudah seharusnya diganti dengan tempayan yang baru karena tempayan retak itu tidak bisa lagi maksimal membawa air yang ia dibawa, tempayan itu selalu meneteskan air di sepanjang perjalanan pulang dari sumber air sampai rumah, sehingga hanya menyisakan setengah dari yang semula dibawa. Tapi entah apa yang ada dibenak lelaki paruh baya ini, ia tidak pernah mencoba untuk mengganti tempayan retak itu dengan yang baru, malah ia terlihat sangat menyayangi sekali tempayan retaknya itu, ia selalu saja tersenyum tiap kali memperhatikan tempayan retak miliknya.

Suatu hari, seperti biasa lelaki paruh baya ini berangkat untuk mengambil air di sumber air dan saat itu pula tempayan yang retak tadi masih saja meneteskan air sedikit demi sedikit di sepanjang perjalanan. Saat sampai dirumah, seperti biasa, tempayan itu meneteskan setengah dari yang seharusnya tempayan itu tampung. Lalu tempayan itu berbicara pada lelaki parah baya tersebut.

"Tempayan retak: [dengan nada sedih] Orangtua, maafkan aku. Aku tak lagi bisa memberikan yang terbaik untukmu."

"Lelaki paruh baya: Tidak masalah, Tempayanku. Walaupun saat ini kau selalu meneteskan separuh air dalam dirimu, setidaknya kau masih bisa membawa yang separuhnya lagi."

"Tempayan retak: [dengan sedikit heran] Mengapa kau tak ganti saja diriku dengan tempayan yang baru?"

"Lelaki paruh baya: Oh tentu tidak, tempayanku. Aku masih senang bekerja dengan dirimu. [lalu tersenyum]"

"Tempayan retak: Tapi lihatlah, aku selalu saja hanya bisa membawa separuh air dari yang seharusnya aku bawa. Tidakkah kau rugi dengan itu?"

"Lelaki paruh baya: Aku tidak pernah merasa rugi bekerja dengan mu, mengapa kau berpendapat seperti itu?"

"Tempayan retak: Aku malu dengan dirimu, aku tidak seperti tempayanmu yang satu lagi. Dia bisa membawa dengan baik air yang kau ambil dari sumber air, sedangkan aku hanya bisa memberikan setengah dari yang kau isikan kepadaku."

"Lelaki paruh baya: Apakah kau merasa sudah tidak berarti dan tak lagi berguna?"

"Tempayan retak: Ya, karena aku sudah retak. Aku tak lagi pantas mendampingimu mengambil air ke kaki gunung itu."

Melihat tempayannya sedih, maka lelaki paruh baya itu membawa tempayannya dan berjalan ke arah jalanan dimana jalan yang biasa dilaluinya untuk berangkat dan pulang mengambil air.

"Lelaki paruh baya: Sekarang coba kau lihatlah jalan arah utara, jalan menuju kaki bukit. Lihatlah sepanjang jalan itu. Lalu lihatlah dikedua sisi pinggir jalan tersebut. Lihatlah apa terjadi disana."

"Tempayan retak: [melihat kearah jalanan dan menatap jauh ke utara] Tidak terjadi apapun disana. Setiap hari aku melihat pemandangan itu dan menurutku tidak ada yang istimewa ataupun aneh."

"Lelaki paruh baya: Lihatlah kedua sisi pinggir jalan tersebut. Satu sisi jalan itu gersang dan mati, namun coba lihat diastu sisi lainnya, ditumbuhi oleh bunga-bunga yang cantik dan rerumputan yang hijau yang terus membentang menuju utara. Indah bukan? Tidakkah kau heran mengapa mereka bisa tetap hidup di desa kita yang kering ini? Sadarkah dirimu kalau kehidupan dari semua bunga dan rerumputan itu tergantung pada dirimu? Tiap siang, mereka menunggu kehadiranmu dari kaki gunung, dari sumber air. Setiap hari kau selalu meneteskan nikmat kepada mereka, sehingga mereka bisa bertahan hidup. Kau adalah harapan bagi mereka. Tuhan telah memilih dirimu untuk menyampaikan berkahNya kepada bunga dan rerumputan itu. Setelah melihat itu semua, masihkah kau merasa tidak berguna dan tak memiliki arti di dunia ini?"

Tempayan itu lalu tersenyum.