"Ain't no sunshine when she's gone, only darkness everyday".
demon search engine
Loading
Minggu, 30 Oktober 2011
Sabtu, 15 Oktober 2011
Kedai Kopi

Neal duduk disebuah kedai kopi. Dihadapannya ada sebuah meja dan kursi kosong, diatas meja tergeletak sebungkus rokok kretek dan secangkir kopi panas.
Lalu Kate datang dan menghampiri.
Dengan sangat perlahan, Kate menyapa Neal.
"Kate: Hai."
Neal tidak memalingkan pandangannya sedikitpun.
"Neal: Hai."
Kate masih berdiri disamping Neal yang sedang terduduk.
"Kate: [Masih dengan nada yang pelan dan sangat hati-hati] Boleh aku duduk?"
"Neal: [Dengan wajah yang dingin] Silahkan."
Lalu Kate duduk dihadapan Neal. Sedangkan Neal masih belum melepaskan tatapannya dari meja.
"Neal: Kopi?"
"Kate: Hmmm.. Boleh. [Sambil tersenyum]"
Kate menatap wajah Neal yang sejak tadi belum memalingkan pandangannya dari meja, bahkan Neal belum melihat kearah wajah Kate yang ada dihadapannya, walaupun sudah menawarkan secangkir kopi.
Neal lalu memanggil seorang pelayan kedai.
"Neal: [Kepada pelayan] Tolong kopi satu cangkir lagi."
"Pelayan: Oke, ada lagi yang mau dipesan?"
"Neal: [Tersenyum menatap ke arah pelayan] Tidak."
Lalu Neal kembali menatap kearah meja. Tatapannya kosong.
"Neal: Taukah kau apa yang mereka katakan tentang kopi? Mereka bilang rasa yang ditimbulkan oleh kopi bisa membuat peredaran darah di otak menjadi lebih lancar dan bisa membuatmu lebih rileks."
"Kate: Ya. Dan mereka juga bilang bahwa kedai kopi adalah tempat yang bagus untuk kencan pertama."
"Neal: Dan taukah kau, aku tidak pernah percaya semua itu."
Kate hanya menatap ke wajah Neal dan tidak berkata apapun.
"Neal: Dulu kami berdua sering kemari, kami selalu memperhatikan orang-orang disekitar, mencari hal yang aneh diantara mereka, berbisik-bisik membahasnya, lalu tertawa-tawa. Aku masih ingat betul itu."
Neal tertawa kecil, lalu kembali dengan mimik serius.
"Neal: Sampai sekarang aku tidak tau apa yang membuat kami tertawa dengan sangat lepas, seakan-akan kami sangat senang dan bahagia. Terutama aku, aku tak tau kenapa saat itu aku sangat senang."
"Kate: Aku tau ini mungkin tidak mudah, tapi..."
"Neal: [Memotong bicara Kate] Bisakah kita ikuti alur ceritanya?"
Kate tersontak kaget.
"Kate: Oooo.. Oke. Tentu saja. Kalau itu membuatmu merasa lebih baik."
Kate menghela nafas.
Mereka terdiam sejenak. Kate membakar sebatang rokok, dia mencoba membuat dirinya lebih nyaman.
"Kate: Jadi apakah kau masih percaya kalian bisa mengulang hal itu kembali?"
"Neal: [Menatap kearah luar sambil mengangkat cangkir kopinya lalu meminumnya] Aku tak yakin dia masih mau melakukannya."
"Kate: Hmmm.. Oke, Anggap saja dia masih mau melakukannya bersamamu. [Lalu tersenyum kearah Neal]"
Sekejap Neal tertawa kecil dengan nada pesimis.
"Kate: [Ikut tertawa tapi ragu] Kenapa? Kenapa kau tertawa? Bukankah itu bagus?"
Wajah Neal kembali serius.
"Neal: Kau mulai mirip dengannya."
Kate tidak mengerti maksud dari perkataan Neal.
"Kate: Maksudmu?? [Tanyanya heran]"
"Neal: Ya, mirip denganya. Selalu berkata 'anggap saja' 'lupakan saja' 'biarkan saja' 'jalani saja'. Dia bilang 'jalani saja', bagaimana bisa 'jalani saja' kalau aku tak tau dimana jalannya?"
"Kate: Uhmm.. Baiklah, aku..."
Neal kembali memotong kalimat Kate.
Kata-katanya selalu lirih dan sangat pelan.
"Neal: Biar aku beritahu sedikit bocoran tentang diriku, aku lebih suka menyelesaikan masalah daripada melupakan masalah. Bukankah itu lebih baik? Coba pikirkan. Aku pun bukan orang munafik yang tak mau disalahkan. Yang terpenting bagiku adalah menyelesaikan apa yang sudah terjadi."
"Kate: [Mematikan rokoknya] Oke. Baiklah kalau seperti itu mau mu. Sekarang mari kita selesaikan apa yang kau anggap belum selesai. Aku akan coba ikuti apa yang menjadi kemauanmu. Kita mulai dari mana?"
Kate coba memberanikan diri.
Tiba-tiba seorang pelayan datang dan menyela pembicaraan mereka.
"Pelayan: Pesanan kopinya. Silahkan. [Sambil menaruh secangkir kopi dihadapan Kate]"
"Neal: Bagaimana kita bisa menyelesaikannya? Bahkan kau tidak tau permasalahan apa yang kami hadapi."
Wajah Kate mulai memerah dan matanya berkaca-kaca.
"Kate: Tidakkah kita bisa perbaiki semuanya? Dan kenapa dari cara bicaramu seakan-akan 'dia' bukanlah aku? Bahkan kau tak berani menatapku, kau pengecut!"
"Neal: [Masih menatap kearah meja] Dia selalu memberikan aku segalanya, senyuman dan tangisan, bahagia maupun duka. Dia tidak akan pergi begitu saja walaupun dia sudah bersama laki-laki lain. Hanya pergi begitu saja."
Kate tak kuasa menahan air mata lalu memalingkan wajahnya.
"Neal: Jangan pernah berpura-pura menjadi dirinya, bagiku dia sudah mati."
Neal lalu menatap dua cangkir kopi yang ada dimeja.
"Neal: Bahkan kami tidak bisa lagi minum kopi bersama."
Kate hanya menatap secangkir kopi yang ada dihadapannya yang belum sempat ia pegang.
Neal mulai beranjak dari meja. Dia menghampiri pelayan lalu memberikan sejumlah uang dan berlalu meninggalkan kedai tersebut.
Lalu Kate datang dan menghampiri.
Dengan sangat perlahan, Kate menyapa Neal.
"Kate: Hai."
Neal tidak memalingkan pandangannya sedikitpun.
"Neal: Hai."
Kate masih berdiri disamping Neal yang sedang terduduk.
"Kate: [Masih dengan nada yang pelan dan sangat hati-hati] Boleh aku duduk?"
"Neal: [Dengan wajah yang dingin] Silahkan."
Lalu Kate duduk dihadapan Neal. Sedangkan Neal masih belum melepaskan tatapannya dari meja.
"Neal: Kopi?"
"Kate: Hmmm.. Boleh. [Sambil tersenyum]"
Kate menatap wajah Neal yang sejak tadi belum memalingkan pandangannya dari meja, bahkan Neal belum melihat kearah wajah Kate yang ada dihadapannya, walaupun sudah menawarkan secangkir kopi.
Neal lalu memanggil seorang pelayan kedai.
"Neal: [Kepada pelayan] Tolong kopi satu cangkir lagi."
"Pelayan: Oke, ada lagi yang mau dipesan?"
"Neal: [Tersenyum menatap ke arah pelayan] Tidak."
Lalu Neal kembali menatap kearah meja. Tatapannya kosong.
"Neal: Taukah kau apa yang mereka katakan tentang kopi? Mereka bilang rasa yang ditimbulkan oleh kopi bisa membuat peredaran darah di otak menjadi lebih lancar dan bisa membuatmu lebih rileks."
"Kate: Ya. Dan mereka juga bilang bahwa kedai kopi adalah tempat yang bagus untuk kencan pertama."
"Neal: Dan taukah kau, aku tidak pernah percaya semua itu."
Kate hanya menatap ke wajah Neal dan tidak berkata apapun.
"Neal: Dulu kami berdua sering kemari, kami selalu memperhatikan orang-orang disekitar, mencari hal yang aneh diantara mereka, berbisik-bisik membahasnya, lalu tertawa-tawa. Aku masih ingat betul itu."
Neal tertawa kecil, lalu kembali dengan mimik serius.
"Neal: Sampai sekarang aku tidak tau apa yang membuat kami tertawa dengan sangat lepas, seakan-akan kami sangat senang dan bahagia. Terutama aku, aku tak tau kenapa saat itu aku sangat senang."
"Kate: Aku tau ini mungkin tidak mudah, tapi..."
"Neal: [Memotong bicara Kate] Bisakah kita ikuti alur ceritanya?"
Kate tersontak kaget.
"Kate: Oooo.. Oke. Tentu saja. Kalau itu membuatmu merasa lebih baik."
Kate menghela nafas.
Mereka terdiam sejenak. Kate membakar sebatang rokok, dia mencoba membuat dirinya lebih nyaman.
"Kate: Jadi apakah kau masih percaya kalian bisa mengulang hal itu kembali?"
"Neal: [Menatap kearah luar sambil mengangkat cangkir kopinya lalu meminumnya] Aku tak yakin dia masih mau melakukannya."
"Kate: Hmmm.. Oke, Anggap saja dia masih mau melakukannya bersamamu. [Lalu tersenyum kearah Neal]"
Sekejap Neal tertawa kecil dengan nada pesimis.
"Kate: [Ikut tertawa tapi ragu] Kenapa? Kenapa kau tertawa? Bukankah itu bagus?"
Wajah Neal kembali serius.
"Neal: Kau mulai mirip dengannya."
Kate tidak mengerti maksud dari perkataan Neal.
"Kate: Maksudmu?? [Tanyanya heran]"
"Neal: Ya, mirip denganya. Selalu berkata 'anggap saja' 'lupakan saja' 'biarkan saja' 'jalani saja'. Dia bilang 'jalani saja', bagaimana bisa 'jalani saja' kalau aku tak tau dimana jalannya?"
"Kate: Uhmm.. Baiklah, aku..."
Neal kembali memotong kalimat Kate.
Kata-katanya selalu lirih dan sangat pelan.
"Neal: Biar aku beritahu sedikit bocoran tentang diriku, aku lebih suka menyelesaikan masalah daripada melupakan masalah. Bukankah itu lebih baik? Coba pikirkan. Aku pun bukan orang munafik yang tak mau disalahkan. Yang terpenting bagiku adalah menyelesaikan apa yang sudah terjadi."
"Kate: [Mematikan rokoknya] Oke. Baiklah kalau seperti itu mau mu. Sekarang mari kita selesaikan apa yang kau anggap belum selesai. Aku akan coba ikuti apa yang menjadi kemauanmu. Kita mulai dari mana?"
Kate coba memberanikan diri.
Tiba-tiba seorang pelayan datang dan menyela pembicaraan mereka.
"Pelayan: Pesanan kopinya. Silahkan. [Sambil menaruh secangkir kopi dihadapan Kate]"
"Neal: Bagaimana kita bisa menyelesaikannya? Bahkan kau tidak tau permasalahan apa yang kami hadapi."
Wajah Kate mulai memerah dan matanya berkaca-kaca.
"Kate: Tidakkah kita bisa perbaiki semuanya? Dan kenapa dari cara bicaramu seakan-akan 'dia' bukanlah aku? Bahkan kau tak berani menatapku, kau pengecut!"
"Neal: [Masih menatap kearah meja] Dia selalu memberikan aku segalanya, senyuman dan tangisan, bahagia maupun duka. Dia tidak akan pergi begitu saja walaupun dia sudah bersama laki-laki lain. Hanya pergi begitu saja."
Kate tak kuasa menahan air mata lalu memalingkan wajahnya.
"Neal: Jangan pernah berpura-pura menjadi dirinya, bagiku dia sudah mati."
Neal lalu menatap dua cangkir kopi yang ada dimeja.
"Neal: Bahkan kami tidak bisa lagi minum kopi bersama."
Kate hanya menatap secangkir kopi yang ada dihadapannya yang belum sempat ia pegang.
Neal mulai beranjak dari meja. Dia menghampiri pelayan lalu memberikan sejumlah uang dan berlalu meninggalkan kedai tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)